Sungguh nyaman menatapmu dari atas dini. Bisa kujelajahi dunia yang katanya cuma milikmu sendiri itu. Mungkin aku ini pecundang yang begitu kurang ajar mengintipmu waktu demi waktu. Tapi di pojok kamarmu yang biru ini sajalah bisa kuanyam sarangku dengan nyaman. Kau tahu? Di luar sana rumah-rumah leluhur telah purna dari siklusnya, dan revolusi mempercepat segalanya, termasuk penggelembungan balon-balon keinginan. Dan aku selalu bosan bila mesti selalu dipaksadengarkan basa–basi hiruk pikuk tawar-menawar berupa-rupa ingin itu.
Maka kupilih pojok kamarmu yang biru. Sesuatu yang biru meski jauh akan selalu tampak dekat dan lekat. Biar begitu. Biar bisa kucuri dengar lagu-lagu saat kau menyanyi-nyanyi. Biar bisa kurunut deret huruf-huruf itu saat kau mencipta puisi. Biar bisa kuhirup lelahmu sehari-hari. Biar bisa kau bagi padaku aroma marah juga benci.
Meski kuandaikan bahwa langit-langit rumahmu ini sebagai betul-betul langit dengan surga tanpa nerakanya, tetap saja tatapanku jatuh ke lantai yang selalu kau pijak, pada ranjang yang sering kau tiduri, pada segala yang ada di bawah situ, di kamarmu itu.
Ya, seperti cerita ini, harusnya tak ada rumah-rumah tua yang roboh, mestinya tak ada besi-besi yang dijolohkan ke ketinggian langit, harusnya tak ada aroma bohong dan riuh basa-basi tawar menawar ingin itu,mestinya cuma ada aroma tubuhmu saja, yang peri dan abadi.
Ini ritus menunggu-mu ;
Kadang benang dari sarang kupakai buat menerbangkan layang-layang berbentuk ikan yang kuserut dari raut ingatan. Udara di sini kadang juga bisa sedikit ribut, membikin layang-layangku menyusup ke longkan jendela, mengintip dunia luar sana. Cuaca masih hitam tak sebiru di dalam kamarmu. Sewaktu kuulur pulang, layang-layangku sedikit langes dan layu, hampir tak membawa kabar apa-apa.
Kadang benang itu juga kupakai buat mengail ikan.
Serutan ingatan yang berhamburan bergeleparan tak karuan, menggelesot kegirangan di lantai kamarmu, hingga bermandi peluh juga lendir. “Seperti ikan-ikan yang terus bernafas meski di gelontor deras asal arus air kehidupan.” Gumamku.
Aku mengerti. Raut ingatan. Kawan setia di saat-saat sepi menunggu seperti ini.
Maka sekali ini kupakai benang sarangku buat mengail ikan-ikan itu.
Menunggu kailku disambar ikan, seperti menunggu kapan kau pulang, lalu berkeluh kesah di sini. Nanti bisa kau bagi padaku. Apalagi kabar di luar sana?
Kau sering menjadi lucu bila harus bergumam-gumam sendirian. Kadang kau meremas-remas selimut, berguling-guling di ranjang, menampar-nampar dan mencubiti bantal yang diam saja kau begitukan, lalu berkaca di depan cermin besar itu.
Bergaya-gaya seperti model sampai jemu sendiri, baru kemudian kau tuliskan menjadi sebuah puisi panjang pendek. Seperti gerutuan yang tak jelas ditangkap pendengaran, tapi bisa begitu membikin penuh sekaligus menyayat-nyayat hati yang rentan seperti hati milikku ini.
Cukup sulit ya?
Tulisanmu kadang tersendat, penamu kadang ngadat. Dan, ah kau lebih suka memegang pena , mencoret-coret kertas, memandang huruf-huruf yang membentuk polanya sendiri itu dari pada memencet tombol-tombol di keybord computer dan memandang layar monitor berganti-ganti, berulang-ulang. “Memperlambat kelahiran huruf-huruf, mempersulit merangkai kata-kata, penciptaan frasa, kalimat , paragraph, bait, rima, diksi …,” kau membela diri.
Mungkin juga bersentuhan dengan pena bulat lonjong punya sensasi tersendiri. Menyeretnya naik turun sepanjang muka kertas itu, “ ah, seperti gerak hidup kita yang membosankan sekaligus nikmat dan natural.”
“Menatap layar monitor terus-menerus membikin mataku cepat aus.” Aus dari lelah dan sakit yang bertumpuk-tumpuk. Maka kau lebih suka menatap huruf-hurufmu yang kadang beda bentuk beda ukuran, tapi berasal dari tinta tulen itu, bukan huruf-huruf semu yang akan pergi menghilang dari raut pikirmu bila tak dibikinkan rumahnya sendiri itu.
Huruf-hurufmu akan kawin-mawin dengan kertas. Dan kertas putih serta tinta hitam sering menelurkan huruf, kata, frasa, diksi, kalimat, paragraph, bait ,rima serta suasana yang sering tak terduga.
“Unik.” Katamu.
“Seperti hidup kita yang kadang membosankan tapi nikmat dan natural.”, katamu sekali lagi.
Karya
Nama: Cholifatul Ridwan
Nama Pena: Cholifatul Ridwan
Lokasi: Jawa Tengah
How nice...
BalasHapusWalau ada yang tak ku tahu maksudnya
tapi poinnya
Memang aku juga sering merindu mencoret dengan pena...
Karena memiliki sensasi sendiri...
Makasih (bung) Fikri. barangkali itulah kekuatan sastra y? hehe
BalasHapus